![]() |
Polemik “Konstitusi Bisa dilanggar, Asal Demi Keselamatan Rakyat”; Solusi atau Masalah? Dalam Pemetaan Kajian Filsafat Hukum / images: pixabay. |
Editor : Goklas
Indonesia adalah Negara Hukum yang mana sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Sebagai negara hukum tentunya Indonesia disini memiliki sumber hukum yang dijadikan dasar dalam bernegara yakni dalam hal ini konstitusi yang harus di patuhi oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Melihat negara ini adalah negara hukum, tentunya Indonesia sudah terikat dengan yang namanya konstitusi. Dimana, konstitusi negara Indonesia adalah UUD NRI 1945. Jadi, UUD NRI 1945 jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menduduki posisi pertama atau sumber hukum tertinggi. Yang mana kajian di dalam UUD NRI 1945 sudah kompleks mengatur bagaimana kemudian seharusnya menjalankan kehidupan bernegara.
Terkait hal itu, beberapa bulan lalu tepatnya pada pertengahan bulan maret 2021 Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Menkopolhukam yakni Mahfud MD, dimana beliau menyampaikan suatu hal yang kontroversial. Di kutip dari laman Kompas TV, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yakni dalam hal ini menyampaikan bahwa “Konstitusi bisa dilanggar, asal demi keselamatan rakyat”.
Dari pernyataan tersebut, beliau juga menyampaikan para pihak yang kaget mendengar hal ini berarti tidak belajar hukum tata negara. Pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam ini menuai pro-kontra di berbagai kalangan. Lantas, apa yang menjadi dasar pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam tersebut? sebuah solusi atau masalah terhadap Indonesia yang berbackground negara hukum? Lalu bagaimana jika dilihat dengan menggunakan kajian filsafat hukum?
Pernyataan yang disampaikan Menkopolhukam mengakibatkan banyak kritik maupun pro-kontra di berbagai kalangan beberapa pekan lalu. Sebelum menyampaikan pernyataan tersebut, Mahfud MD selaku Menkopolhukam sudah memiliki landasan teori terkait hal itu, menurutnya ada sebuah referensi buku yang jelas mengatur dan mengatakan perihal konstitusi bisa dilanggar demi keselamatan rakyat yang dalilnya Salus Populi Suprema Lex, dan atas dasar itulah beliau berani menyampaikan bahwa demi menyelamatkan rakyat, konstitusi boleh dilanggar.
Hal ini diungkap beliau terkait dengan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah. Dalam konteks ini, Bapak Menkopolhukam menyebut bahwa keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di tengah pandemi Covid-19.
Lalu kemudian pernyataan dari Menkopolhukam tersebut juga di kritik salah satunya oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Jimly Asshiddiqie. Dikutip dari laman KumparanNEWS Mantan ketua MK disini tidak sependapat dengan pernyataan Menkopolhukam yang konstitusi bisa dilanggar, demi keselamatan rakyat. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, jadi tidak boleh melanggar konstitusi (Undang-Undang Dasar NRI 1945).
Kemudian, mantan ketua MK tersebut juga mengingatkan soal Pasal 12 UUD NRI 1945. Bahwa di dalam Pasal tersebut, presiden dapat menetapkan keadaan bahaya dengan menggunakan UUD dibanding melanggar konstitusi. Selain itu, beliau juga menambahakan semisal Pasal 12 UUD tadi dinilai tidak relevan, presiden disini juga bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) baru sehingga hukum ataupun konstitusi tidak perlu dilanggar.
Prof. Jimly juga mengatakan bahwa UU yang dijadikan dasar dalam penanganan Covid-19 tidak menggunakan Pasal 12 UUD NRI 1945. Yang dalam hal ini situasi negara masih dalam keadaan normal. Seperti yang disebutkan tadi, bahwasannya masih belum ada pemberitahuan resmi dari pemerintah ataupun presiden bahwa negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Maka dari itu, mantan ketua MK yakni bapak Jimly menilai bahwa salus populi suprema lex belum bisa digunakan ataupun diterapkan di negara Indonesia.
Menanggapi silang pendapat antara Menkopolhukam dengan mantan Ketua MK diatas, jika dianalisis dalam konteks kajian filsafat hukum, sebetulnya disini tujuan utama antara bapak Mahfud MD dengan bapak Jimly yaitu untuk kemaslahatan negara. Namun jika dilihat pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam, beliau lebih kepada aliran utilitarianisme. Mengapa demikian?, mendasar kepada ajaran Jeremy Bentham, dimana Bentam merupakan filsuf dari aliran utilitarianisme yang dalam hal ini ia memandang bahwa hukum hanya dapat diidentifikasi dan digambarkan berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang relevan, yang mengikutsertakan hal-hal yang berkenaan dengan proses penciptaan hukum dan pelaksanaannya oleh orang-orang yang dalam posisi memiliki kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat.
Lalu apa hukum yang baik itu? Menurut Bentham hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan rasa sakit dalam masyarakat. Dari ajaran Jeremy Bentham tersebut jika dilihat dengan pernyataan Menkopolhukam “Konstitusi bisa dilanggar, asal demi keselematan rakyat” sebetulnya tujuan utama bapak Mahfud MD yaitu keselamatan rakyat. Yang mana dunia termasuk Indonesia disini sejak 2 tahun terakhir dilanda pandemi Covid-19, yang telah memakan banyak korban dan sampai sekarangpun masih belum usai. Dalam situasi pandemi, keselamatan rakyat paling utama sehingga beliau lebih mengedepankan hal itu. Berbeda halnya dengan bapak Jimly, beliau membantah pernyataan yang disampaikan oleh bapak Mahfud MD yang mana ia kurang setuju dengan hal tersebut.
Jika dianalisis dalam kacamata filsafat hukum mantan ketua MK merupakan aliran positivisme. Mengapa demikian? Dapat diketahui bersama, bahwa bapak Jimly mengatakan Indonesia merupakan Negara Hukum, maka konstitusi disini (UUD NRI 1945) tidak boleh dilanggar. Mendasar pada ajaran John Austin dimana beliau filsuf dari aliran positivisme yang mengatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum terletak pada “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap. Ia juga menjelaskan lebih jauh bahwa superior yang menetukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan superior itu memaksa orang lain untuk taat dalam memberlakukan hukum.
Dari ajaran John Austin tersebut sudah jelas bahwasannya hukum adalah perintah penguasa yang harus di taati yang dalam hal ini adalah hukum positif. Sama halnya dengan yang dikatakan bapak Jimly bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan konstitusi, jadi dalam hal ini konstitusi tidak boleh dilanggar. Karena konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di dalam negara hukum seperti Indonesia.
Dari pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait dengan pernyataan bapak Mahfud MD dengan apa yang juga dikatakan bapak Jimly sebetulnya sudah sama-sama memberikan solusi kepada negara. Meskipun berbeda paradigma, namun mereka memiliki dasar teori dibalik hal tersebut. Sehingga, tujuan utama mereka adalah demi kemaslahatan negara.
Disatu sisi melihat keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di tengah Pandemi Covid-19 sedangkan di sisi satunya lagi mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berdasar pada Konstitusi sehingga UUD NRI 1945 tidak boleh dilanggar dan banyak cara alternatif sebetulnya dalam menangani covid-19 semisal jika pasal 12 dalam UUD NRI 1945 dinilai tidak relevan, presiden disini bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) baru sehingga hukum ataupun konstitusi tidak perlu dilanggar.
DAFTAR RUJUKAN
Link Berita:
Buku:
- Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
- Serlika Aprita dan Rio Adhitya. Filsafat Hukum. Depok: Rajawali Pers, 2020.
0 Comments
Posting Komentar