Polemik “Konstitusi Bisa dilanggar, Asal Demi Keselamatan Rakyat”; Solusi atau Masalah? Dalam Pemetaan Kajian Filsafat Hukum

Polemik “Konstitusi Bisa dilanggar, Asal Demi Keselamatan Rakyat”; Solusi atau Masalah? Dalam Pemetaan Kajian Filsafat Hukum

Polemik “Konstitusi Bisa dilanggar, Asal Demi Keselamatan Rakyat”; Solusi atau Masalah? Dalam Pemetaan Kajian Filsafat Hukum / images: pixabay.
Penulis : Aini Shalihah, S.H.,M.H
Editor : Goklas

Indonesia adalah Negara Hukum yang mana sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Sebagai negara hukum tentunya Indonesia disini memiliki sumber hukum yang dijadikan dasar dalam bernegara yakni dalam hal ini konstitusi yang harus di patuhi oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. 

Melihat negara ini adalah negara hukum, tentunya Indonesia sudah terikat dengan yang namanya konstitusi. Dimana, konstitusi negara Indonesia adalah UUD NRI 1945. Jadi, UUD NRI 1945 jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menduduki posisi pertama atau sumber hukum tertinggi. Yang mana kajian di dalam UUD NRI 1945 sudah kompleks mengatur bagaimana kemudian seharusnya menjalankan kehidupan bernegara.

Terkait hal itu, beberapa bulan lalu tepatnya pada pertengahan bulan maret 2021 Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Menkopolhukam yakni Mahfud MD, dimana beliau menyampaikan suatu hal yang kontroversial. Di kutip dari laman Kompas TV, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yakni dalam hal ini menyampaikan bahwa “Konstitusi bisa dilanggar, asal demi keselamatan rakyat”. 

Dari pernyataan tersebut, beliau juga menyampaikan para pihak yang kaget mendengar hal ini berarti tidak belajar hukum tata negara. Pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam ini menuai pro-kontra di berbagai kalangan. Lantas, apa yang menjadi dasar pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam tersebut? sebuah solusi atau masalah terhadap Indonesia yang berbackground negara hukum? Lalu bagaimana jika dilihat dengan menggunakan kajian filsafat hukum?

Pernyataan yang disampaikan Menkopolhukam mengakibatkan banyak kritik maupun pro-kontra di berbagai kalangan beberapa pekan lalu. Sebelum menyampaikan pernyataan tersebut, Mahfud MD selaku Menkopolhukam sudah memiliki landasan teori terkait hal itu, menurutnya ada sebuah referensi buku yang jelas mengatur dan mengatakan perihal konstitusi bisa dilanggar demi keselamatan rakyat yang dalilnya Salus Populi Suprema Lex, dan atas dasar itulah beliau berani menyampaikan bahwa demi menyelamatkan rakyat, konstitusi boleh dilanggar. 

Hal ini diungkap beliau terkait dengan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah. Dalam konteks ini, Bapak Menkopolhukam menyebut bahwa keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di tengah pandemi Covid-19.

Lalu kemudian pernyataan dari Menkopolhukam tersebut juga di kritik salah satunya oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Jimly Asshiddiqie. Dikutip dari laman KumparanNEWS Mantan ketua MK disini tidak sependapat dengan pernyataan Menkopolhukam yang konstitusi bisa dilanggar, demi keselamatan rakyat. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, jadi tidak boleh melanggar konstitusi (Undang-Undang Dasar NRI 1945). 

Kemudian, mantan ketua MK tersebut juga mengingatkan soal Pasal 12 UUD NRI 1945. Bahwa di dalam Pasal tersebut, presiden dapat menetapkan keadaan bahaya dengan menggunakan UUD dibanding melanggar konstitusi. Selain itu, beliau juga menambahakan semisal Pasal 12 UUD tadi dinilai tidak relevan, presiden disini juga bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) baru sehingga hukum ataupun konstitusi tidak perlu dilanggar. 

Prof. Jimly juga mengatakan bahwa UU yang dijadikan dasar dalam penanganan Covid-19 tidak menggunakan Pasal 12 UUD NRI 1945. Yang dalam hal ini situasi negara masih dalam keadaan normal. Seperti yang disebutkan tadi, bahwasannya masih belum ada pemberitahuan resmi dari pemerintah ataupun presiden bahwa negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Maka dari itu, mantan ketua MK yakni bapak Jimly menilai bahwa salus populi suprema lex belum bisa digunakan ataupun diterapkan di negara Indonesia.

Menanggapi silang pendapat antara Menkopolhukam dengan mantan Ketua MK diatas, jika dianalisis dalam konteks kajian filsafat hukum, sebetulnya disini tujuan utama antara bapak Mahfud MD dengan bapak Jimly yaitu untuk kemaslahatan negara. Namun jika dilihat pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam, beliau lebih kepada aliran utilitarianisme. Mengapa demikian?, mendasar kepada ajaran Jeremy Bentham, dimana Bentam merupakan filsuf dari aliran utilitarianisme yang dalam hal ini ia memandang bahwa hukum hanya dapat diidentifikasi dan digambarkan berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang relevan, yang mengikutsertakan hal-hal yang berkenaan dengan proses penciptaan hukum dan pelaksanaannya oleh orang-orang yang dalam posisi memiliki kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. 

Lalu apa hukum yang baik itu? Menurut Bentham hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan rasa sakit dalam masyarakat. Dari ajaran Jeremy Bentham tersebut jika dilihat dengan pernyataan Menkopolhukam “Konstitusi bisa dilanggar, asal demi keselematan rakyat” sebetulnya tujuan utama bapak Mahfud MD yaitu keselamatan rakyat. Yang mana dunia termasuk Indonesia disini sejak 2 tahun terakhir dilanda pandemi Covid-19, yang telah memakan banyak korban dan sampai sekarangpun masih belum usai. Dalam situasi pandemi, keselamatan rakyat paling utama sehingga beliau lebih mengedepankan hal itu. Berbeda halnya dengan bapak Jimly, beliau membantah pernyataan yang disampaikan oleh bapak Mahfud MD yang mana ia kurang setuju dengan hal tersebut. 

Jika dianalisis dalam kacamata filsafat hukum mantan ketua MK merupakan aliran positivisme. Mengapa demikian? Dapat diketahui bersama, bahwa bapak Jimly mengatakan Indonesia merupakan Negara Hukum, maka konstitusi disini (UUD NRI 1945) tidak boleh dilanggar. Mendasar pada ajaran John Austin dimana beliau filsuf dari aliran positivisme yang mengatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum terletak pada “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap. Ia juga menjelaskan lebih jauh bahwa superior yang menetukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan superior itu memaksa orang lain untuk taat dalam memberlakukan hukum. 

Dari ajaran John Austin tersebut sudah jelas bahwasannya hukum adalah perintah penguasa yang harus di taati yang dalam hal ini adalah hukum positif. Sama halnya dengan yang dikatakan bapak Jimly bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan konstitusi, jadi dalam hal ini konstitusi tidak boleh dilanggar. Karena konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di dalam negara hukum seperti Indonesia.

Dari pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait dengan pernyataan bapak Mahfud MD dengan apa yang juga dikatakan bapak Jimly sebetulnya sudah sama-sama memberikan solusi kepada negara. Meskipun berbeda paradigma, namun mereka memiliki dasar teori dibalik hal tersebut. Sehingga, tujuan utama mereka adalah demi kemaslahatan negara. 

Disatu sisi melihat keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di tengah Pandemi Covid-19 sedangkan di sisi satunya lagi mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berdasar pada Konstitusi sehingga UUD NRI 1945 tidak boleh dilanggar dan banyak cara alternatif sebetulnya dalam menangani covid-19 semisal jika pasal 12 dalam UUD NRI 1945 dinilai tidak relevan, presiden disini bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) baru sehingga hukum ataupun konstitusi tidak perlu dilanggar.

DAFTAR RUJUKAN
Link Berita:
Buku:
  • Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
  • Serlika Aprita dan Rio Adhitya. Filsafat Hukum. Depok: Rajawali Pers, 2020.
Simak Yuk, Impelementasi Threshold di Indonesia

Simak Yuk, Impelementasi Threshold di Indonesia

Impelementasi Threshold di Indonesia/ kolomhukum.asia

Penulis      : Muhammad Haiqal –  Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Editor        : Goklas

Pemilu di Indonesia telah diselenggarakan sebanyak 12 kali, mulai dari Pemilu pertama pada tahun 1955, kemudian dilaksanakan secara berturut-turut pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Di Indonesia, pada tahun 2009 diberlakukan sistem pemilu menggunakan Threshold. 

Threshold adalah ambang batas suara yang diperlukan oleh Partai Politik untuk mendapatkan/memperoleh hak-hak tertentu di parlemen atau legislatif. Dari segi fungsi dan kegunaanya, penerapan threshold adalah untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, jumlah parpol yang duduk di lembaga perwakilan, dan jumlah parpol atau kelompok parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

Sementara Electoral Threshold yaitu ambang batas suara yang diperlukan oleh suatu Partai Politik (Parpol) untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya dan mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagaimana yang kita tahu, bahwa Indonesia menganut sistem multipartai, yang dimana Partai Politk di Indonesia tidak hanya satu atau dua yang ada, tetapi lebih dari dua bahkan lebih. 

Sistem multipartai juga timbul dikarena banyaknya perbedaan ras, agama, suku dan dianggap bahwa sistem multipartai lebih sesuai dengan pluralisme budaya dan politk di Indonesia daripada sistem Partai Tunggal dan Dwi Partai.

Setelah Electoral Threshold, ada juga yang dinamakan Parliamentary Threshold. Parliamentary Threshold adalah ambang batas suara yang diperlukan oleh Partai Politik untuk bisa masuk ke dalam parlemen/legislatif atau untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kuris di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Selanjutnya yaitu Presidential Threshold, yaitu ambang batas suara yang harus dimiliki oleh Partai Politik untuk dapat mengajukan/mencalonkan anggota Partai Politiknya menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sistem Threshold di Indonesia diterapkan pertama kali pada tahun 2009.

Berikut sejarah penerapan dan perkembangan persentase Threshold di Indonesia :

1. Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2009, dilaksanakan pada 9 April 2009 dan diikuti oleh 38 Partai Politik Nasional dan 6 Partai Politik Lokal Aceh. Berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini diterapkan pada Pemilu 2009.

2. Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2014, dilaksanakan pada 9 April 2014 dan diikuti oleh 12 Partai Politik. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Ketentuan ini direncanakan akan diterapkan sejak Pemilu 2014.

3. Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2019, dilaksanakan pada 17 April 2019 dan diikuti oleh 16 Partai Politik. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR.

Tujuan diberlakukannya sistem threshold di Indonesia, yaitu untuk membatasi Partai Politik untuk memenangkan kursi di Parlemen. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Negara Indonesia memiliki Partai Politk yang sangat banyak dan beragam dan memiliki kepentingan masing-masing di tiap-tiap Partai Politik. Maka dari itu, tujuan dari diberlakukannya Threshold ini untuk mengurangi dan membatasi Partai Politik di Parlemen. Namun, faktanya Threshold belum mampu untuk mengurangi jumlah Partai Politik peserta Pemilihan Umum secara signifikan.

Sumber Referensi

AKIBAT HUKUM REGULASI TENTANG THRESHOLD DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DAN PEMILIHAN PRESIDEN

Arti Presidential Threshold dalam Pemilu
Asas Hukum Adalah Pikiran Dasar Yang Terdapat Dalam Hukum, Lengkapnya Simak Disini Yuk!

Asas Hukum Adalah Pikiran Dasar Yang Terdapat Dalam Hukum, Lengkapnya Simak Disini Yuk!

Asas Hukum Adalah Pikiran Dasar Yang Terdapat Dalam Hukum, Lengkapnya Simak Disini Yuk!
Asas Hukum Adalah Pikiran Dasar Yang Terdapat Dalam Hukum, Lengkapnya Simak Disini Yuk! Source : adobestock/law

Halo sahabat kolom hukum, udah pada tau gak apa itu asas hukum? Asas Hukum adalah pikiran dasar yang terdapat dalam hukum konkret atau diluar peraturan hukum konkret. Nah sahabat kolom hukum bisa lihat beberapa komponen dari asas hukum tersebut sebagai referensi kalian.

• EQUALITY BEFORE THE LAW
“kesederajatan di mata hukum”
Bahwa semua orang dipandang sama hak, harkat dan martabatnya di mata hukum.
• LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI
“ketentuan peraturan (UU) yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum”
Jika terjadi pertentangan antara ketentuan yang sifatnya khusus dan yang sifatnya umum, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang sifatnya khusus.

• LEX SUPERIORI DEROGAT LEGI INFERIORI
“ketentuan peraturan (UU) yang mempunyai derajat lebih tinggi didahulukan pemanfaatannya/penyebutannya daripada ketentuan yang mempunyai derajat lebih rendah”
Jika terjadi pertentangan antara UU yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang lebih tinggi.
• LEX POST TERIORI DEROGAT LEGI PRIORI
“ketentuan peraturan (UU) yang baru mengenyampingkan / menghapus berlakunya ketentuan UU yang lama yang mengatur materi hukum yang sama”
Jika terjadi pertentangan antara UU yang lama dengan yang baru, maka yang diberlakukan adalah UU yang baru.
Contoh: berlakunya UU no 32 tahun 2004, menghapus berlakunya UU no 22 tahun 1999 tentang peraturan daerah.
• RES JUDICATA VERITATE PRO HABETUR
“keputusan hakim waib dianggap benar kecuali dibuktikan sebaliknya”
Jika terjadi pertentangan antara keputusan hakim dengan ketentuan UU, maka yang diberlakukan adalah keputusan hakim/pengadilan.
• LEX DURA SECTA MENTE SCRIPTA
“ketentuan UU itu memang keras, karena sudah oleh pembuatnya seperti itu (hukumnya sudah ditentukan seperti itu)"
Contoh:
ketentuan Pasal 10 KUHP (tentang jenis-jenis hukuman)

  1. hukuman pokok
  2. hukuman mati
  3. hukuman penjara
  4. hukuman kurungan
  5. hukuman denda
  6. Hukuman tambahan
  7. pencabutan hak-hak tertentu
  8. perampasan barang-barang hasil kejahatan
• LEX NIMINEM CODIG AD IMPOSIBILIA
“ketentuan UU tidak memaksa seseorang untuk mentaatinya, apabila orang tersebut benar-benar tidak mampu melakukannya”
Contoh:

  1. Pasal 44 KUHP : orang gila
  2. Pasal 45 KUHP : dibawah umur
  3. Pasal 48, 49 KUHP : pembelaan darurat
  4. Pasal 50 KUHP : karena tugas
• NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGI POENALE
“Asas Legalitas”
(pasal 1 ayat (1) KUHP)
Asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sedemikian rupa oleh suatu aturan undang-undang. Tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya.

• DIE NORMATIEVEN KRAFT DES FAKTISCHEN
“perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative”
• STRAFRECHT HEEFTGEEN TERUGWERKENDE KRACHT
“asas tidak berlaku surut”
Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

• GEENSTRAF ZONDER SHCULD
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”
Bahwa seseorang yang tidak melakukan kesalahan / tindak pidana tidak dapat dibebankan sanksi pidana terhadapnya.

• PRESUMTION OF INNOCENCE
“praduga tak bersalah”
Seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah apabila belum diputus pengadilan atau memiliki kekuatan hukum yang sah.

• UNUS TESTIS NULLUS TESTIS
“satu orang saksi bukan saksi”
Dalam suatu pemeriksaan harus ada lebih dari seorang saksi, jika hanya ada satu saksi saja maka kesaksiannya tidak dapat diterima.

Asas Umum dalam Hukum
1.Lex specialis derogat lex generali
“Undang-Undang yang bersifat khusus dapat mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum”
Contoh: UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi dapat mengesampingkan UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Lex superior derogat lex inferiori
“Undang-Undang yang lebih tinggi dapat mengesampingkan UU yang berada dibawahnya”
Lihat Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3. Lex posteori derogat lex priori
“Undang-Undang yang baru dapat mengesampingkan Undang-Undang yang lama”
Contoh: Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Pokok-Pokok Kehakiman dapat dikesampingkan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Ex aequo et bono
“Kelayakan dan kepatutan”
5. Unus testis nullus testis
“Kesaksian satu orang, bukanlah kesaksian”
6. Pacta sunt servanda
“Perjanjian berlaku mengikat untuk ditaati para pembuatnya”
7. Pacta tertes ned norcent ned prosunt
“Perjanjian yang dibuat para pihak, tidak berlaku mengikat bagi pihak ketiga”
8. Nebis in idem
“seseorang tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama”
9. Res judicata pro veritate hebertur
“Putusan hakim senantiasa dianggap benar untuk sementara”
10. Ex injuria non oritus ius
“Dari hal melawan hukum tidak menimbulkan hak bagi pelaku”
11. Nullum crimen sine lege
“Perjanjian internasional dapat mengikat pihak ke tiga, apabila isi perjanjian itu diturunkan/diwahyukan dari hukum kebiasaan internasional dan hukum maniter internasional”
12. In dubio proreo (Pasal  182 ayat (6) KUHAP)
“Apabila hakim mengalami keraguan dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa, maka hakim menjatuhkan sanksi yang paling meringankan terdakwa”
13. Audiatur et altera pars / Audi alteram partern
“Pihak lain juga harus di dengar”
14. Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) – nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali, 
mengandung 3 prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
15. Similia similibus
“Perkara yang sama diputus serupa pula”
16. Cogitationis nemo patitur
“Apa yang dipikir/dibatin tidak dapat dipidana”
17. Vox populi vox Dei
“Suara rakyat suara Tuhan”
18. Lex dura secta mente scripta
“UU itu keras, tetapi sudah ditentukan demikian”
19. Lex niminem cogit ad impossibilia
“UU itu tidak memaksakan  seorangpun untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin / tidak masuk akal untuk dilakukan”
20. Si vis pacem para bellum
“Jika kamu ingin menang bersiaplah untuk perang”
21. Lax agendi lex essendi
“Hukum berbuat adalah hukum keberadaan”
22.  ignorantia legis excusat neminem
“Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf".

 

Referensi : Berbagai Sumber

Term Of Reference atau TOR Liputan, Simak Artikel Ini !

Term Of Reference atau TOR Liputan, Simak Artikel Ini !

Term Of Reference atau TOR Liputan, Simak Artikel Ini !
Term Of Reference atau TOR Liputan, Simak Artikel Ini.

Udah pernah dengar TOR liputan belum guys? Term Of Reference atau TOR Liputan disebut juga dengan Outline atau lembar penugasan. Dengan membuat TOR liputan pemberitaan akan terfokus, mendalam dan lengkap. Tor liputan sangat penting bagi reporter karena reporter akan cepat mengerti mengenai apa yang akan dikerjakan kendati tidak sempat mengikuti rapat redaksi. Selain itu TOR Liputan akan menjadi catatan pertanggung jawaban atau akuntabilitas sebagai bukti transparansi bagi seluruh tim liputan.

Lalu bagaimana membuat TOR Liputan dan apa saja point-point yang harus ada dalam TOR Liputan ? yuk simak sebentar

1.  Topik, merupakan tema besar liputan, bisa ditempatkan sebagai judul TOR.
Seperti judul berita Streght news, sebaiknya judul atau topik dibuat singkat dan padat dengan mencerminkan inti masalah.

1.    Latar belakang masalah
Berisi paparan inti masalah. Apa saja tali-menali permasalahannya dan bagaimana mereka saling menghubungkan. Dalam membuat latar belakang masalah tidak perlu menuliskannya panjang-panjang namun diharapkan dengan membaca latar belakang masalah tersebut siapun yang telibat dalam pengerjaan liputan akan mengerti hakekat masalah.

1.    Sudut berita atau angle berita
Nah, disini redaktur harus mampu membatasi sajian berita dengan memilih satu sudut/angle berita dari sekian banyak masalah yang ada dan dasar pemilihan angle berita bisa berdasarkan urgensitas, ke-eksklusifan, konteks zaman, prioritas sajian atau ciri khas media.

2.    Pembagian tulisan
Berita terencana biasanya dikerjakan secara khusus dengan artian ada pengalokasian sumber daya dan waktu yang ekstra berbeda dengan streghts news atau berita permukaan lain karena itu sajiannya biasanya panjang. Sebagai contoh yang mudah kita bayangkan yakni laporan utama atau laporan khsusus pada majalah. Laporan utama biasanya sampai 12 halaman berikut foto dan infografik, jadi terdiri dari sebagian item tulisan yang saling terkait. Tulisan utama berupa rangkuman masalah sedangkan bagian lainnya berupa penjabaran dari berita utama. Setiap tulisan pendukung ini harus fokus agar tidak tumpang tindih dengan tulisan yang lain.

1.    Narasumber
Setiap tulisan membutuhkan narasumber tersendiri, sangat mungkin satu orang menjadi narasumber dibeberapa tulisan sekaligus. Sementara dasar pemilihan narasumber yakni kompetensi . semakin terkait seseorang dalam masalah yang diangkat maka maki tepat untuk dijadikan narasumber. Dengan demikian pelaku dan korban adalah prioritas utama, saksi mata sebagai prioritas kedua, sedangkan pengamat sebaiknya dipakai bila dibutuhkan untuk menjelaskan hal-hal teknis saja.

2.    Daftar pertanyaan
Dalam TOR Liputan editor memberikan daftar sebagai panduan umum bagi reporter. Namun ketika dilapangan dapat mengembangkan pertanyaan.

3.    Observasi lapangan
Repotase yang baik adalah yang hidup yakni ada penggambaran agar khalayak secepat mungkin bisa menangkap suasana. Media yang menggunakan audio visual seperti televisi seketika bisa melukiskan suasana tayang yang ditampilkan adalah gambar hidup lengkap dengan suara. Namun yang butuh paling lama dalam deskripsi suasana yakni media cetak sebab untuk mendapatkan deskripsi tentu perlu observasi.

4.    Rancangan foto, suara, dan gambar
Foto perlu untuk media cetak, suara untuk radio dan televisi sedangkan gambar untuk televisi. Dalam konteks jurnalistik foto, suara dan gambar adalah informasi maka untuk itu sejak awal foto, suara dan gambar perlu direncanakan. Tujuannya agar sinkron dengan tulisan atau narasi.

5.    Rancangan grafis
Diperlukan bila terkait dengan data berupa angka-angka statistik serta lokasi dan urutan kejadian. Sejak awal sajian grafis perlu direncanakan agar preset data dan bagian-bagian grafis bisa menyiapkannya lebih awal.

6.    Riset Data
Tulisan akan kering dan kurang menyakinkan bila tulisan yang dihasilkan minim data karena itu data pendukung tulisan harus disiapkan dari awal. Sebaiknya reporter yang akan mewawancarai narasumber perlu diingatkan mencari data terkait. Bila ada dokumen akan sangat baik misalnya dokumen milik narasumber yang bisa dipinjam atau digandakan.

7.    Tenggat waktu (deadline)
Pengerjaan liputan tentu terdapat batas waktunya maka tenggat waktu atau deadline harus disebutkan jelas dalam TOR supaya semua yang terlibat dalam pengerjaan bisa mengetahuinya.

nah sudah pada tau kan apa itu TOR Liputan hehe

Legalkan Usaha Kamu Sekarang